http://www.goal.com/id-ID/news/1387/nasional/2013/10/13/4329876/catatan-sepakbola-nasional-habis-euforia-terbitlah-terang?ICID=SP
Kita pasti punya ketahanan luar biasa dengan menjadi pendukung setia tim nasional sepakbola Indonesia.
Tidak
cuma puasa gelar di level senior sejak 1991, tetapi juga sepanjang
sepuluh tahun terakhir kita mengalami guncangan turbulensi yang hebat.
Berganti-ganti kita mengalami naik turun dan pasang surut prestasi
timnas. Berganti-ganti antara puncak euforia dan kekecewaan mendalam.
Kita
mulai daftarnya. Euforia publik mengangkasa ketika Indonesia tampil
perkasa pada fase grup Piala AFF 2004 di Vietnam. Pasukan Peter Withe
tak terkalahkan dengan rekor gol yang mentereng. Sayangnya, Indonesia
gagal merengkuh trofi kejuaraan. Saat itu, tim antara lain diperkuat
Ilham Jayakesuma, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Boaz Solossa. Nama
terakhir memulai debut pada 12 Oktober tahun yang sama dalam laga
kualifikasi Piala Dunia melawan Arab Saudi dan memukau perhatian fans.
Euforia
berikutnya kita rasakan ketika menghelat Piala Asia 2007 di kandang
sendiri. Dengan persiapan panjang, antara lain dengan menghentikan
kompetisi untuk sementara, pasukan Ivan Kolev membuka penampilan dengan
kemenangan atas Bahrain. Indonesia gagal menciptakan kejutan serupa di
dua laga tersisa menghadapi Arab Saudi dan Korea Selatan. Namun,
antusiasme masyarakat sepanjang turnamen membuktikan jika timnas
memiliki nilai yang luar biasa, baik dari segi sentimental maupun
komersil.
Euforia 2007 tidak berlanjut setelah secara tragis
Indonesia gagal melewati Suriah pada laga pra-kualifikasi Piala Dunia.
Indonesia takluk 4-1 di Jakarta dan mengirimkan tim U-23 bertanding pada
leg kedua di Damaskus. Antusiasme masyarakat pun kembali surut. Untuk
sementara.
Piala AFF 2010 tidak hanya memberikan euforia yang
luar biasa bagi sepakbola nasional, tetapi juga mengawali terciptanya
dua sudut pandang yang berbeda tentang bagaimana seharusnya kita
mengelolanya.
Di bawah kendali pelatih Alfred Riedl, Indonesia
tampil hebat di fase grup. Salah satunya dengan mengalahkan Thailand
2-1, lawan yang jarang sekali dikalahkan Indonesia di pentas
internasional dalam dua dasawarsa terakhir. Di babak puncak Indonesia
mengalami antiklimaks dengan menyerah kalah di kaki Malaysia.
Kita
tidak belajar dari kekalahan tersebut. Malahan yang muncul adalah
masalah pertikaian di level kepengurusan asosiasi yang kemudian bergeser
kepada perdebatan fans. Dualisme tidak hanya terjadi di jajaran elite,
tetapi juga di kalangan akar rumput.
Sabtu (12/10) tadi malam,
atau tepat sembilan tahun setelah Boaz yang kini menjadi kapten timnas
memulai debutnya untuk Indonesia, tim Indonesia U-19 kembali melontarkan
euforia publik tinggi-tinggi. Kombinasi kekuatan fisik, keterampilan
teknik, taktik Indra Sjafri, keteladanan Evan Dimas, dan faktor dukungan
publik berhasil membawa Indonesia melengkapi gelar Piala AFF dengan
tiket menuju Piala Asia tahun depan di Myanmar. Partisipasi terakhir
Indonesia di Piala Asia U-19 terjadi di Malaysia 2004. Di ajang itu,
Boaz mencetak dua gol dan dua pekan kemudian memulai debutnya. Mungkin
bukan kebetulan jika siklus itu berulang sembilan tahun berselang.
Poin
khusus untuk Evan Dimas. Sang kapten melesakkan hat-trick ke gawang
Korea Selatan pada laga penentuan. Kita tidak ingat lagi kapan terakhir
Indonesia mampu mengalahkan Korea Selatan di level senior dan siapa
pemain Indonesia terakhir yang mampu mengemas tiga gol ke salah satu
negara kuat sepakbola Asia itu. Di ajang Piala AFF, Evan juga mengemas
hat-trick ketika mengalahkan Thailand. Prestasi itu bahkan tidak pernah
dilakukan pemain Indonesia di level senior hampir sepanjang 40 tahun
terakhir. Evan seperti tak lelah mencetak sejarah. Dengan kepemimpinan
dan potensi yang dibuktikannya sebulan terakhir, Evan pantas mengorbit
di level top sepakbola Asia.
Kita telah gagal belajar dari
kekalahan, mungkin ini saatnya belajar dari kemenangan. Indra Sjafri
menyusun tim dengan melakukan pemantauan serta penyaringan bakat ke
berbagai pelosok tanah air. Hal yang memang sudah sewajarnya dilakukan,
tetapi sayangnya belum termasuk menjadi bagian program PSSI. Posisi
direktur teknik, kalaupun ada, belum berfungsi sebagaimana mestinya.
Usai
kemenangan yang membawa Indonesia ke ajang Piala Asia U-19, Indra
Sjafri memasang target berikutnya, yaitu melangkah ke Piala Dunia U-20
2015 di Selandia Baru. Persiapan menuju Piala Asia U-19 tahun depan
sudah harus disusun. Vietnam, yang dikalahkan Indonesia di final Piala
AFF, berencana menggelar latihan di markas Arsenal serta akademi JMG di
Belgia beberapa bulan sebelum turnamen dimulai. Indonesia pun harus
mulai bersiap.
Sebagai langkah awal, Indra Sjafri meminta agar
dapat terus mempertahankan timnya saat ini dengan melakukan pembenahan
materi yang diperlukan. Seiring dengan besarnya sorotan publik dan
minat-minat klub meminang anak didiknya, ditambah desakan agar beberapa
pemain naik jenjang ke level kelompok usia berikutnya atau bahkan
diterjunkan sekaligus ke SEA Games, sang pelatih serta merta
mengingatkan agar publik "membiarkan buah matang di pohonnya".
Permintaan yang wajar dipenuhi karena bagaimanapun ini tim U-19 dan para
pemainnya belum berada di usia emas kariernya.
Belum tentu pula
materi pemain tim U-19 saat ini akan menjadi andalan timnas senior.
Tidak ada jaminan 100 persen. Namun, pemegang kebijakan sepakbola
nasional harus memberikan jaminan infrastruktur yang memadai. Jika
dilihat pengembangan sepakbola usia dini di negara-negara maju selalu
melibatkan klub sebagai salah satu mata rantai. Selain itu, ada pula
wadah kompetisi di berbagai jenjang kelompok usia. Aspek pendidikan
pemain muda tak luput menjadi perhatian. Kita tidak memiliki situasi
yang ideal di Indonesia, tetapi dalam lingkup yang lebih luas kemenangan
tim U-19 seharusnya menjadi nilai tawar mutlak bagi publik untuk terus
mendesak agar PSSI memiliki program pengembangan piramida sepakbola yang
mumpuni.
PSSI mesti menjamin sukses tim U-19 tidak hanya lewat
sepintas dengan memberikan seluas-luasnya kesempatan bagi calon pemain
di setiap penjuru Indonesia untuk mengembangkan potensi masing-masing.
Kita mesti mengubah paradigma kalau pemain seperti Boaz Solossa dan Evan
Dimas bukanlah berkah dari Tuhan untuk negeri ini, tetapi dicetak
melalui tangan-tangan pelatih yang berwawasan tinggi. Banyak hal yang
harus dibenahi PSSI, antara lain sistem yang ajeg, program kerja yang
jelas, profesionalisme di jajaran pengurus asosiasi maupun klub, serta
pelatihan untuk pelatih usia dini maupun wasit. Untuk melakukannya PSSI
harus memanfaatkan sebaik mungkin persetujuan FIFA menjalankan Goal
Project dan program Performance di negara ini. Dengan melakukannya, PSSI
akan mengembalikan makna visi "sepakbola untuk rakyat" bukan
semata-mata "sepakbola untuk tontonan rakyat".
CATATAN Sepakbola Nasional: Habis Euforia, Terbitlah Terang
01.23 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar